Jumat, 04 Mei 2012

AJARAN POKOK AQIDAH ISLAM SESUAI PAHAM MUHAMMADIYAH


AJARAN POKOK AQIDAH ISLAM SESUAI
PAHAM MUHAMMADIYAH

Makalah
Ditulis untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Aqidah

 
Disusun Oleh :
NJD. Pratiwi
Reri Andriani
Yassir Dzulfiqor



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR HAMKA
JAKARTA
2012





BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
       Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang melaksanakan dakwah dan tajdid untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sebagai gerakan dakwah, Muhammadiyah mengajak umat manusia untuk memeluk agama Islam (da’wah ila al-Khair), menyuruh pada yang ma’ruf (al-amr bi al-ma’ruf), dan mencegah dari yang munkar (al-nahy ‘an al-munkar) {QS. Ali Imran/3: 104}, sehingga hidup manusia selamat, bahagia, dan sejahtera di dunia dan di akhirat. Karena itu seluruh warga, pimpinan, hingga berbagai komponen yang terdapat dalam Muhammadiyah, termasuk amal usaha dan orang-orang yang berada di dalamnya, haruslah memahami Muhammadiyah serta mengaktualisasikannya dalam kehidupan nyata.
       Hakikatnya Muhammadiyah merupakan gerakan Islam sebagaimana disebutkan di atas, maka merupakan kewajiban bagi seluruh warga dan pimpinan serta segenap pengelola dan pelaksana di lingkungan struktur Persyarikatan termasuk di amal usahanya, untuk memahami Islam sebagaimana paham agama dalam Muhammadiyah. Tuntutan seperti ini bukan bermazhab dan taklid, tetapi sebagai bentuk ‘ittiba sekaligus keniscayaan menyetujui asas dan tujuan Muhammadiyah, sebagaimana lazimnya siapapun yang berada dalam rumah Muhammadiyah. Dan dalam beragama sebagaimana paham Muhammadiyah, haruslah benar dan lurus, sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al-Quran, yang artinya:
       “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus”.




BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Sumber Ajaran Islam
     Muhammadiyah, sebagai gerakan keagamaan yang berwatak sosio kultural, dalam dinamika kesejarahannya selalu berusaha merespon berbagai perkembangan kehidupan dengan senantiasa merujuk pada ajaran Islam yang bersumber dari dua sumber primer ajaran ini, yakni Al-quran dan As-sunnah.
     Untuk mencapai maksud dan tujuannya, yaitu mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, maka Muhammadiyah melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid yang diwujudkan dalam usaha di segala bidang kehidupan. Dalam pengembangan bidang keagamaan dan dakwah ditangani oleh dua majlis, yaitu Majlis Tarjih dan Tajdid (MTT) dan Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus (MT-DK).
II.2 Pemahaman Ajaran Islam
     Hal-hal yang berkaitan dengan paham agama dalam Muhammadiyah secara garis besar dan pokok-pokoknya ialah sebagai berikut:
1.    Agama, yakni Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad S.A.W. ialah apa yang diturunkan Allah dalam Al-quran dan yang disebut dalam Sunnah maqbulah, berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan di akhirat.
2.    Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad S.A.W., sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi (Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah/ MKCHM butir ke-2).
3.    Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang: (a) Aqidah; Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam; (b) Akhlaq; Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia; (c) ‘Ibadah; Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ‘ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah S.A.W. tanpa tambahan dan perubahan dari manusia; (d) Mu’amalah dunyawiyat; Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu’amalah dunyawiyat (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ‘ibadah kepada Allah S.W.T. (MKCH, butir ke-4).
4.    Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata karena Allah, agama semua Nabi, agama yang sesuai dengan fitrah manusia, agama yang menjadi petunjuk bagi manusia, agama yang mengatur hubungan dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama, dan agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Islam satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama yang sempurna. (Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah/PHIWM, bab Pandangan Islam Tentang Kehidupan).
5.      Bahwa dasar muthlaq untuk berhukum dalam agama Islam adalah Alquran dan Sunnah. Bahwa di mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ‘ibadah mahdhah padahal untuk alasan atasnya tiada terdapat nash sharih dalam Alquran dan Sunnah maqbulah, maka dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istinbath dari nash yang ada melalui persamaan ‘illat, sebagaimana telah dilakukan oleh ‘ulama salaf dan Khalaf (Kitab Masalah Lima, Al-Masail Al-Khams tentang Qiyas).
6.      Muhammadiyah dalam memaknai tajdid mengandung dua pengertian, yakni pemurnian (purifikasi) dan pembaruan (dinamisasi)
II.3 Paham Islam dalam Muhammadiyah
Tujuan program Muhammadiyah ialah pengembangan tajdid di bidang tarjih dan pemikiran Islam secara intensif dengan menguatkan kembali rumusan-rumusan teologis seperti tauhid sosial, serta gagasan operasional seperti dakwah jamaah, dengan tetap memperhatikan prinsip dasar organisasi dan nilai Islam yang hidup dan menggerakkan.
Mengingat kecenderungan atau gejala melemahnya dan dangkalnya pemahaman mengenai Islam dalam Muhammadiyah, pada saat yang sama, terdapat fenomena orang Muhammadiyah mengembangkan paham sendiri-sendiri atau malah mengikuti paham lain, maka diperlukan ikhtiar sistematis untuk menanamkan atau memantapkan kembali paham Agama (Islam) dalam Muhammadiyah. Di antara langkah-langkah untuk menanamkan (memantapkan) kembali paham Islam dalam Muhammadiyah ialah sebagai berikut:
  1. Majelis Tarjih memproduksi/menghasilkan berbagai pedoman/tuntunan tentang ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan baik yang menyangkut aqidah, ibadah, akhlak, maupun mu’amalat duniawiyah secara lengkap, mudah dipahami, dan bervariasi untuk dijadikan pedoman dan dimasyarakatkan/dipublikasikan sesuai dengan keputusan-keputusan Muktamar/Munas Tarjih.
  2. Pimpinan Persyarikatan diikuti oleh Organisasi Otonom, amal usaha, dan berbagai institusi dalam Muhammadiyah di berbagai tingkatan dari Pusat hingga Ranting menggiatkan kembali Kajian Intensif Islam dalam Muhammadiyah, serta menyelenggarakan Pengajian Pimpinan dan Pengajian Anggota, yang di dalamnya dipaketkan materi khusus secara mendalam dan luas tentang Paham Agama (Islam) dalam Muh       mmadiyah.
  3. Menggiatkan pengajian-pengajian umum yang membahas tentang Islam multiaspek dalam Muhammadiyah baik secara rutin maupun dengan memanfaatkn momentum-momentum tertentu.
  4. Menyebarluaskan paham agama (Islam) dalam Muhammadiyah ke berbagai lingkungan serta media publik, termasuk melalui website, internet, dakwah seluler, dan sebagainya sehingga paham Islam yang dikembangkan Muhammadiyah dapat dibaca, dipahami, dan diamalkan oleh umat Islam dan masyarakat luas.
  5. Menghidupkan kembali kultum/pengajian singkat di berbagai kegiatan, yang antara lain menjelaskan tentang berbagai aspek ajaran Islam yang dipahami dan dipraktikan Muhammadiyah, sehingga bukan sekadar membahas masalah-masalah organisasi belaka, kendati tetap penting.
     Hal yang penting yang perlu menjadi pemahaman bersama bahwa paham Islam dalam Muhammadiyah bersifat komprehensif dan luas, sehingga tidak sempit dan parsial. Agama dalam pandangan atau paham Muhammadiyah tidaklah sepotong-sepotong, serpihan-serpihan, dan hanya hukum/fikih belaka. Paham agama yang ditanamkan bukan ajaran yang terbatas, tetapi luas dan mulsti aspek. Karena Muhammadiyah merupakan gerakan Islam, maka paham tentang Islam merupakan kewajiban atau keniscayaan yang fundamental, yang intinya pada memperdalam sekaligus memperluas paham Islam bagi seluruh warga Muhammadiyah, kemudian menyebarkan/mensosialisasikan dan mengamalkan dalam kehidupan umat serta masyarakat sehingga Islam yang didakwahkan Muhammadiyah membawa/menjadi rahmatan lil-‘alamin.
II.4 Bidang-Bidang pada Muhammadiyah
1.       Bidang Aqidah
     Aqidah Islam menurut Muhamadiyah dirumuskan sebagai konsekuensi logis dari gerakannya. Formulasi aqidah yang dirumuskan dengan merujuk langsung kepada suber utama ajaran Islam itu disebut ‘aqidah shahihah, yang menolak segala bentuk campur tangan pemikiran teologis. Karakteristik aqidah Muhammadiyah itu secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:
     Pertama, nash sebagai dasar rujukan. Semangat kembali kepada Alquran dan Sunnah sebenarnya sudah menjadi tema umm pada setiap gerakan pembaharuan. Karena diyakini sepenuhnya bahwa hanya dengan berpedoman pada kedua sumber utama itulah ajaran Islam dapat hidup dan berkembang secara dinamis. Muhammadiyah juga menjadikan hal ini sebagai tema sentral gerakannya, lebih-lebih dalam masalah aqidah, seperti dinyatakan: “Inilah pokok-pokok ‘aqidah yang benar itu, yang terdapat dalam Alquran dan dikuatkan dengan pemberitaan-pemberitaan yang mutawatir.”
     Berdasarkan pernyataan di atas, jelaslah bahwa sumber aqidah Muhammadiyah adalah alquran dan Sunnah yang dikuatkan dengan berita-berita yang mutawatir. Ketentuan ini juga dijelaskan lagi dalam pokok-pokok Manhaj Tarjih sebagai berikut: “(5) Di dalam masalah aqidah hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir, (6) Dalil-dalil umum Alquran dapat ditakhsis dengan hadits ahad, kecuali dalam bidang aqidah, (16) dalam memahami nash, makna zhahir didahulukan daripada ta’wil dalam bidang aqidah dan takwil sahabat dalam hal itu tidak harus diterima.”
     Ketentuan-ketentuan di atas jelas menggambarkan bahwa secara tegas aqidah Muhammadiyah bersumber dari Alquran dan Sunnah tanpa interpretasi filosofis seperti yang terdapat dalam aliran-aliran teologi pada umumna. Sebagai konsekuensi dari penolakannya terhadap pemikiran filosofis ini, maka dalam menghadapi ayat-ayat yang berkonotasi mengundang perdebatan teologis dalam pemaknaannya, Muhammadiyah bersikap tawaqquf seperti halnya kaum salaf.
     Kedua, keterbatasan peranan akal dalam soal aqida Muhammadiyah termasuk kelompok yang memandang kenisbian akal dalam masalah aqidah. Sehingga formulasi posisi akal sebagai berikut “Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak tercapai pengertian oleh akal dalam hal kepercayaan, sebab akal manusia tidak mungkin mencapai pengertian tentang Dzat Allah dan hubungan-Nya dengan sifat-sifat yang ada pada-Nya.”
     Ketiga, kecondongan berpandangan ganda terhadap perbuatan manusia. Pertama, segala perbuatan telah ditentukan oleh Allah dan manusia hanya dapat berikhtiar. Kedua, jika ditinjau dari sisi manusia perbuatan manusia merupakan hasil usaha sendiri. Sedangkan bila ditinjau dari sis Tuhan, perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan.
     Keempat, percaya kepada qadha’ dan qadar. Dalam Muhammdiyah qadha’ dan qadar diyakini sebagai salah satu pokok aqidah yang terakhir dari formulasi rukun imannya, dengan mengikuti formulasi yang diberikan oleh hadis mengenai pengertian Islam, Iman dan Ihsan.
     Kelima, menetapkan sifat-sifat Allah. Seperti halnya pada aspek-aspek aqidah lainnya, pandangan Muhammadiyah mengenai sifat-sifat Allah tidak dijelaskan secara mendetail. Keterampilan yang mendekati kebenaran Muhammadiyah tetap cenderung kepada aqidah salaf.
2.       Bidang Hukum
     Muhammadiyah melarang anggotanya bersikap taqlid, yaitu sikap mengikuti pemikiran ulama tanpa mempertimbangkan argumentasi logis. Dan sikap keberagaman menumal yang dibenarkan oleh Muhammadiyah adalah ittiba’, yaitu mengikuti pemikiran ulama dengan mengetahui dalil dan argumentasi serta mengikutinya dengan pertimbangan logika. Di samping itu, Muhammadiyah mengembangkan ijtihad sebagai karakteristik utama organisasi ini. Adapun pokok-pokok utama pikiran Muhammadiyah dalam bidang hokum yang dikembangkan oleh Majlis Tarjih antara lain:
1.    Ijtihad dan istinbath atas dasar ‘illah terhadap hal-hal yang terdapat di dalam nash, dapat dilakukan sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbdi dan memang merupakan hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia.
  1. Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, tetapi pendapat madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum.
  2. Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya Majlis Tarjih yang paling benar. Koreksi dari siapa pun akan diterima sepanjang diberikan dalil-dalil yang lebih kuat. Dengan demikian, Majlis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan.
  3. Ibadah ada dua macam, yaitu ibadah khusus, yaitu apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu, dan ibadah umum, yaitu segala perbuatan yang dibolehkan oleh Allah dalam rangka mendekatkan diri kepadaNya.
  4. Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari Alquran dan Sunnah, pemahamannya dapat menggunakan akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan.
3.      Bidang Akhlak
                        Mengingat pentingnya akhlaq dalam kaitannya dengan keimanan seseorang, maka Muhammadiyah sebagai gerakan Islam juga dengan tegas menempatkan akhlaq sebagai salah satu sendi dasar sikap keberagamaannya. Dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah dijelaskan “Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah Rasul, tidak bersendi pada nilai-nilai ciptaan manusia.”
                        Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Imam Ghazali). Nilai dan perilaku baik dan burruk seperti sabar, syukur, tawakal, birrul walidaini, syaja’ah dan sebagainya (Al-Akhlaqul Mahmudah) dan sombong, takabur, dengki, riya’, ‘uququl walidain dan sebagainya (Al-Akhlaqul Madzmuham).
                        Mengenai Muhammadiyah menjadikan akhlaq sebagai salah satu garis perjuangannya, hal ini selain secara tegas dinyatakan dalam nash, juga tidak dapat dipisahkan dari akar historis yang melatarbelakangi kelahirannya. Kebodohan, perpecahan di antara sesama orang Islam, melemahnya jiwa santun terhadap dhu’afa’, pernghormatan yang berlebi-lebihan terhadap orang yang dianggap suci dan lain-lain, adalah bentuk realisasi tidak tegaknya ajaran akhlaqul karimah.
                        Untuk menghidupkan akhlaq yang islami, maka Muhammadiyah berusaha memperbaiki dasar-dasar ajaran yang sudah lama menjadi keyakinan umat Islam, yaitu dengan menyampaikan ajaran yang benar-benar berdasar pada ajaran Alquran dan Sunnah Maqbulah, membersihkan jiwa dari kesyirikan, sehingga kepatuhan dan ketundukan hanya semata-mata kepada Allah. Usaha tersebut ditempuh melalui pendidikan, sehingga sifat bodoh dan inferoritas berangsur-angsur habis kemudian membina ukhuwah antar sesame muslim yang disemangati oleh Surat Ali Imron ayat 103.
Adapun sifat-sifat akhlak Islam dapat digambarkan sebagai berikut:
1.    Akhlaq Rabbani: Sumber akhlaq Islam itu wahyu Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Akhlaq Islamlah moral yang tidak bersifat kondisional dan situasional, tetapi akhlaq yang memiliki nilai-nilai yang mutlak. Akhlaq rabbanilah yang mampu menghindari nilai moralitas dalam hidup manusia (Q.S.) Al-An’am / 6 : 153).
2.    Akhlak Manusiawi. Akhlaq dalam Islam sejalan dan memenuhi fitrah manusia. Jiwa manusia yang merindukan kebaikan, dan akan terpenuhi dengan mengikuti ajaran akhlaq dalam Islam. Akhlaq Islam benar-benar memelihara eksistensi manusia sebagai makhluk terhormat sesuai dengan fitrahnya.
3.    Akhlak Universal. Sesuai dengan kemanusiaan yang universal dan menyangkut segala aspek kehidupan manusia baik yang berdimensi vertikal, maupun horizontal. (Q.S. Al-An’nam : 151-152).
4.    Akhlak Keseimbangan. Akhlaq Islam dapat memenuhi kebutuhan sewaktu hidup di dunia maupun di akhirat, memenuhi tuntutan kebutuhan manusia duniawi maupun ukhrawi secara seimbang, begitu juga memenuhi kebutuhan pribadi dan kewajiban terhadap masyarakat, seimbang pula. (H.R. Buhkori).
5.    Akhlaq Realistik. Akhlaq Islam memperhatikan kenyataan hidup manusia walaupun manusia dinyatakan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk lain, namun manusia memiliki kelemahan-kelemahan itu yaitu sangat mungkin melakukan kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat. Bahkan dalam keadaan terpaksa. Islam membolehkan manusia melakukan yang dalam keadaan biasa tidak dibenarkan. (Q.S. Al- Baqarah / 27 : 173) (http://luqm.multiply.com/journal/item/74).
4.      Bidang Mu’amalah Dunyawiyah
                        Mua’malah : Aspek kemasyarakatan yang mengatur pegaulan hidup manusia diatas bumi ini, baik tentang harta benda, perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan, hubungan antar negara dan lain sebagainya.
                        Di dalam prinsip-prinsip Majlis Tarjih poin 14 disebutkan “Dalam hal-hal termasuk Al-Umurud Dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para nabi, menggunakan akal sangat diperlukan, demi untuk tercapainya kemaslahatan umat.”
Adapun prinsip-prinsip mu’amalah dunyawiyah yang terpenting antara lain:
1.    Menganut prinsip mubah.
2.    Harus dilakukan dengan saling rela artinya tidak ada yang dipaksa.
3.    Harus saling menguntungkan. Artinya mu’amalah dilakukan untuk menarik mamfaat dan menolak kemudharatan.
4.    Harus sesuai dengan prinsip keadilan.

II.5. Metodologi Ijtihad
Jalan Ijtihad yang ditempuh Majlis Tarjih meliputi :
1.    Ijtihad Bayan: ijtihad terhadap ayat yang mujmal baik karena belum jelas maksud lafadz yang dimaksud, maupun karena lafadz itu mengandung makna ganda, mengandung arti musytarak ataupun karena pengertian lafadz dalam ungkapan yang konteksnya mempunyai arti yang jumbuh (mutasyabih) ataupun adanya beberapa dalil yang bertentangan (ta’arrudl) dalam hal terakhir digunakan cara jama’ dan talfiq.
2.    Ijma’: kesepakatan para imam mujtahid di kalangan umat Islam tentang suatu hukum Islam pada suatu masa (masa sahabat setelah Rasulullah wafat). Menurut kebanyakan para ulama, hasil ijma’ dipandang sebagai salah satu sumber hukum Islam sesudah Alquran dan Sunnah. Pemikiran tentang ijma’ berkembang sejak masa sahabat sampai masa sekarang, sampai masa para imam mujtahid.
3.    Qiyas: menyamakan sesuatu hal yang tidak disebutkan hukumnya di dalam nash, dengan hal yang disebutkan hukumnya di dalam nash, karena adanya persamaan illat (sebab) hukum pada dua macam hal tersebut, contoh: hukum wajib zakat atas padi yang dikenakan pada gandum. Untuk Qiyas digunakan dalam bidang muamalah duniawiyah, tidak berlaku untuk bidang ibadah mahdlah. La qiyasa fil ibadah.
4.    Maslahah atau Istislah: menetapkan hukum yang sama sekali tidak disebutkan dalam nash dengan pertimbangan untuk kepentingan hidup manusia yang bersendikan mamfaat dan menghindarkan madlarat. Contoh, mengharuskan pernikahan dicatat, tidak ada satu nash pun yang membenarkan atau membatalkan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kepastian hukum atas terjadinya perkawinan yang dipergunakan oleh negara. Hal ini dilakukan untuk melindungi hak suami istri. Tanpa pencatatan negara tidak mempunyai dokumen otentik, atas terjadinya perkawinan.
5.    Istihsan: memandang lebih baik, sesuai dengan tujuan syariat, untuk meninggalkan ketentuan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum. Contoh: Harta zakat tidak boleh dipindah tangankan dengan cara dijual, diwariskan, atau dihibahkan. Tetapi kalau tujuan perwakafan (tujuan syar’i) tidak mungkin tercapai, larangan tersebut dapat diabaikan, untuk dipindah tangankan, atau dijual, diwariskan atau dihibahkan. Contoh : Mewakafkan tanah untuk tujuan pendidikan Islam. Tanah tersebut terkena pelebaran jalan, tanah tersebut dapat dipindahtangankan dengan dijual, dibelikan tanah ditempat lain untuk pendidikan Islam yang menjadi tujuan syariah diatas.





BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
            Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan. Sumber otentik untuk mempelajari Islam adalah Alquran dan Sunnah Maqbulah.  Muhammdiyah bergerak dalam berbagai bidang kehidupan manusia yang antara lain dapat diklasisfikasikan sebagai berikut: Aqidah, 2) hukum, 3) akhlak, dan 4) Mu’amalah dunyawiyah.
            Hal-hal yang berkaitan dengan paham agama dalam Muhammadiyah secara garis besar dan pokok-pokoknya meliputi : 1) Agama, yakni Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, 2) Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya, 3) Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam, Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata karena Allah, 4) Bahwa dasar muthlaq untuk berhukum dalam agama Islam adalah Alquran dan Sunnah, 5) Muhammadiyah dalam memaknai tajdid mengandung dua pengertian, yakni pemurnian (purifikasi) dan pembaruan (dinamisasi) (Keputusan Munas Tarjih di Malang).
            Dalam menjalankan perannya dalam berbagai bidang tersebut maka Muhammadiyah melakukan ijtihad dengan berbagai metodenya antara lain: 1) Ijtihad bayani yaitu ijtihad terhadap ayat yang mujmal baik karena belum jelas maksud lafadz yang dimaksud , 2)  Ijma’, 3) Ijtihad Qiyasi, 4) Ijtihad Ishtishlahiy, dan 5) Istihsan.










DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Paham Keagamaan Muhammadiyah. [Online]. Tersedia: http://pandikalbar.wordpress.com/2010/02/25/paham-keagamaan-muhammadiyah/
Anonim. 2010. Pokok-Pokok Ajaran Islam. [Online]. Tersedia: http://id.shvoong.com/society-and-news/spirituality/1956443-pokok-pokok-ajaran-islam/


1 komentar:

  1. “Adapun syarat yang benar tentang kepercayaan, dalam hal ini ialah jangan ada sesuatu yang mengurangi keagungan dan keluhuran Tuhan, dengan mempersamakan-Nya dengan makhluk. Sehingga andaikata terdapat kalimat-kalimat yang kesan pertama mengarah kepada arti yang demikian, meskipun berdasarkan berita yang mutawattir (menyakinkan), maka wajiblah orang mengabaikan makna yang tersurat dan menyerahkan tafsir arti yang sebenarnya kepada Allah dengan kepercayaan bahwa yang terkesan pertama pada pikiran bukanlah yang dimaksudkan, atau dengan takwil yang berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima.” (HPT Muhammadiyah 17-18) https://nafismudrika.wordpress.com/2016/06/24/apakah-aqidah-muhammadiyah-ahlussunnah/

    BalasHapus